Nama :
Dian PS Silalahi
Semester :
IV- S. PAK
M. Kuliah :
Etika Kristen II
Dosen :
Ribkha P, M. Th
Masalah Inseminasi buatan
Masalah
ini belum dibicarakan dalam cetakan pertama, karena kami berpendapat bahwa soal
ini pada waktu itu belum aktuil di Indonesia. Tetapi kini keadaan telah
berubah. Tak dapat dirugikan lag bahwa soal ini telah menjadi soal yang aktuil.
Juga di Indonesia. Banyak orang mempercakapkannya. Majalah-majalah dan
hari-harian memuat banyak karangan-karangan tentang hal itu. Banyak orang yang
mempunyai anak meminta keterangan, nasehat dan pertolongan kepada dokter
mengenai soal itu. Pendapat para pendeta pun diminta. Oleh karena itu maka
dalam cetakan ini masalah itu akan kita bicarakan.
a.
Apakah
inseminasi buatan itu?
Dalam
keadaan normal, penghamilan wanita dalan kehidupan pernikahan terlaksana dengan
persetubuhan. Yang disebut inseminasi buatan ialah memasukan mani kedalam
alat-alat kelamin wanita dengan jalan buatan (bukan dengan persetubuhan ).
Untuk itu dapat dipakai beberapa metode.
Bukanlah
maksud kami uutk membicarakan segi teknis dan segi medis dari tindakan itu.
Yang akan kita bicarakan ialah segi keagamaan dan segi etisnya. Tetapi sebelum
itu, baiklah kami terangkan lebih dahulu bahwa ada dua macam inseminasi buatan
yakni inseminasi buatan yang homolog dan inseminasi buatan yang heterolog.
b.
Inseminasi
buatan yang homolog
Inseminasi
buatan disebut homolog, jika mani yang dimasukkan kedalam alat kelamin wanita
itu berasal dari suaminya sendiri. Adakalanya penghamilan wanita tidak dapat
dilaksakan dengan persetubuhan. Misaslnya jika sisuami mati pucuk (lemah
syahwat/impoten). Juga jika terdapat kelamin-kelamin bawaan (sejak dilahirkan)
pada alat kelamin suami atau istri, sehingga mani yang sehat tidak masuk sampai
yang semestinya. Dalam keadaan yang demikian itu dokter dapat menggunakan
inseminasi buatan dengan memasukkan mani suami kedalam rahim istrinya dengan
metodemetode tertentu (mis: dengan memompakannya). Menurut para ahli
kedokteran, hasil inseminasi yang homolog itu tidak besar, walaupun pernah pula
terjadi bahwa inseminasi semacam ini dapat menghamilkan wanita; sehingga ia
dapat melahirkan anak, bukan hanya sekali saja tetapi sampai beberapa kali.
c.
Inseminasi
buatan yang heterolog
Inseminasi
buatan disebut heterolog, jika mani yang dimasukkan itu berasal dari seorang
donor lain, bukan dari suaminya sendiri. Dinegeri-negeri tertentu dicari dan
dipilih donor-donor dengan sangat dirahasiakan. Donor itu harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Dokter yang mencari donir itu harus memilih seorang
donor yang lebih kurang sama sifat hayatinya dan bentuk tubuhnya dengan suami
yang sebenarnya. Dengan amat teliti diadakan penyelidikan tentang keturunan
pada donor itu dan ditinjau kombinasi itu dari sudut asal-usul kedua belah
pihak di negeri-negeri yang mengijinkan penggunaan inseminasi heterolog itu,
haruslah dokter mengawasi dengan keras (sesuai dengan undang-undang yang
berlaku tentang hal itu dinegeri itu). supaya sampai sidonor mengetahui kepada
siapa maninya itu diberikan dan supaya jangan sampai wanita itu mengetahui dari
siapa ia menerima mani itu. Jadi dokter harus memegang teguh rahasia itu.
Itulah syarat yang mutlak. Di beberapa negeri dipakai inseminasi heterolog itu,
jika dalam perkawinan suami-istri tertentu tetap tidak ada anak yang diahirkan
taau jika golongan darah suami-istri tidak cocok.
d.
Berbagai
segi masalah inseminasi buatan
Masalah
ini banyak segi-seginya. Segi hayati (biologis), psychologis, juridis, segi-segi
keagamaan dan etis. Bahaya yang terdapat pada zaman sekarang mengenai masalah
ini ialah apabila masalah ini hanya diselidiki dari sudut hayatinya saja. Di
Amerika dan Rusia banyak orang yang berat sebelah pandangannya terhadap hidup,
yakni hanya menitikberatkan segi biologis atau segi hayati, sehingga banyak
pula yang menganjurkan inseminasi buatan yang heterolog, bukan hanya untuk
menolong suami-istri yang tidak mempunyai anak, tetapi juga untuk memertinggi
bakat-bakat keturunan. Untuk itu, maka dianjurkan supaya orang memakai mani
dari orang-orang istimewa bakatnya guna menghamilkan wanita-wanita. Bahkan
orang telah memikirkan pula untuk mendirikan suatu “bank mani” untuk menyimpan
mani dari tokoh-tokoh yang istimewa bakatnya guna kepentingan angkatan yang
akan datang.
Huxley
menerangkan, bahwa dikemudian hari lapangan eugenetik (ilmu pengetahuan yang
menyelidi pengaruh-pengaruh yang dapat memperbaiki sifat-sifat keturunan
manusia) akan mengalami zaman baru yang baik. Baru-baru ini seorang rector
wanita yang behaluan komunis dari suatu sekolah menengah di Eropah Timur
menerangkan, bahwa kini Sovye Uni telah mempunyai pengalaman selama 25 tahun
dalam memupuk dan ,,mngembang-biakkan” manusia dengan inseminasi buatan.
Menurut wanita ini, ,,pembiakan” umat manusia harus ditinjau dan diselidiki
lagi secara radikal. Mulai sekarang haruslah manusia dikembangkan-biakkan”
dengan ,,ampuh-ampuh. Fungsi ayah harus diganti dengan ,,ampuh-ampuh. Bahkan ia
berani mengatakan, bahwa dikemudian hari pembiakan dengan cara yang wajar”
(persetubuhan) harus dipandang sebagai perbuatan membuang-buang barang bekas
yang tidak dapat mempertanggung jawabkan.
Tak
perlu diterangkan lagi rasanya, bahwa ucapan-ucapan semacam itu adalah
berdasarkan suatu pandangan Alkitab terhadap manusia, yang sama sekali
berentangan dengan pandangan Alkitab terhadap manusia. Dalam pandangan tersebut
manusia dipandang sebagai binatang yang cerdas dan pembiakan manusia dipandang
sebagai suatu soal yang dapat diatur dengan cara yang sama speerti orang
mengatur pembiakan ayam atau kuda atau babi.
Apabila
kita membaca tentang pendangan orang2 yang memandang soal ini dari sudut
psychologis, maka kita akan mengetahui, bahwa pada soal inseminasi buatan itu
timbul pertanyaan yang lebih dalam dari pada yang mengenai segi-segi hayati
saja! Ahli psychology menerangkan, bahwa pada seorang wanita, yang melahirkan
anak dari mani seorang donor yang tidak diketahuinya, seringkali timbul ikatan
batin yang disadari atau tidak disadarinya dengan donor yang anonim itu. Mereka
pun menerangkan, bahwa ikatan batin itu ada yang mengakibatkan gangguan syaraf.
Kecuali itu kini telah diketahui pula dari buku ilmu jiwa mengenai masalah itu,
bahwa anak-anak yamg dilahirkan dengan metode inseminasi heterolog itu
kadang-kadang sangat menderita tekanan batin, karena mereka tidak mengetahui, siapakah
ayahnya, rahasia itu tidak selamanya dapat disimpan baik-baik. Orang tuanya
mungkin dapat menyimpan rahasia itu, tetapi orang lain dapat membukanya.
Salah
satu hak manusia yang asasiialah hak mengetahui siapakah ayah dan ibunya yang
melahirkan dia. Jika orang dengan sengaja menyembnyikan rahasia itu bagi
sianak, maka hal iktu akan lebih berpengaruh jahat pada jiwa sianak dari pada yang
disangka orang semula.
Ahli-ahli
hukum menunjukkan segi juridis daripada soal ini. Sebab adanya anak yang
dilahirkan dengan metode inseminasi heterolog itu menimbulkan soal juridis
yang tidak atau belum dapat dipecahkan oleh undang-undang yang ada dewasa ini.
Misaknya, dapatkah dikatakan sah anak yang dilahirkan dari inseminasi heterolog
itu? Apakah wanita itu tidak berbuat zinah? Jika memang dianggap berbuat zinah,
apakah dokter dan donor bukan merupakan pembantu dalam tindak pidana? Jika
inseminasi dilakukan tanpa persetujuan suami, dapatkah hal itu menjadi alasan
untuk perceraian? Dapatkah donor diwajibkan memberi nafkah kepada anak yang
dilahirkan dengan cara demikian itu? Ataukah dokter yang melaksanakan
penghamilan dengan cara itu yang harus diwajibkan memberi nafkah kepda sianak?
Bagaimana urusan hak waris bagi anak-anak semacam itu? Memberi keterangan
tentang asal-usul anak itu kepada anak itu sendiri, dapatkah hal itu diizinkan
berdasarkan hukum?
Itulah
beberapa soal juridis yang bukan hanya secara teori, tetapi di dalam praktek
pun telah lama menjadi bahan penyelidikan di berbagai negeri dan telah
menimbulkan proses-proses pengadilan serta jurisprudensi
tertentu. Tetapi soal inseminasi buatan itu tidak hanya mempunyai segi-segi
keagamaan dn segi-segi juridis saja. Ada pula segi-segi keagamaan dan segi-segi
etisnya. Segi yang terakhir itulah yang akan kita bicarakan dalam buku ini.
e.
Segi
keagamaan dan segi etis dari masalah inseminasi buatan
Setiap
orang dilingkungan gereja manapun dia, yang merenungkan soal-soal diatas itu,
menerima panggilan untuk memikirkan segi-segi keagamaan dan segi-segi etis dari
soal inseminasi buatan itu. Gereja yang pertama-tama secara resmi mengeluaran
suatu pertanyaan tentang inseminasi buatan itu ialah Gereja R.K.
Dokumen
yang memuat pertanyaan itu dikeluarkan oleh Paus XII pada tahun 1949. Didalam
dokumen yang terkenal itu ditolak inseminasi buatan, baik yang homolog maupun
yang heterolog. Paus Pius XII menerangkan bahwa tiap-yia penghamilan dan
pembiakan manusia tidak boleh menyimpang dari cara yang wajar yang telah
diciptakan oleh Tuhan sendiri pada tiap-tiap manusia. Cara yang waajar itu
ialah persetubuhan. Segala yang tidk sesuai dengan cara yang wajar itu adalah
jahat. Demikian isi dokumen itu. Oleh karena tu disebutkan pula dalam dokumen
Paus situ, bahwa yang perlu bukan hanya berskap hati-hati terhadap inseminasi
buatan haruslah dianggap sebagai sesuatu yang dilarang, berdasarkan kesusilaan.
Dasar
pertanyaan itu terleta pada pandangan gereja R.K. tentang hukum kodrati, lex
naturalis”. Oleh karena pada inseminnasi buatan itu mani tidak diperoleh dari
persetubuhan yang wajar, melainkan dengan pungsi (tusukan) pada buah pelir atau
dengan masturbasi (merancap) atau dengan coitus sinterruptus (persetubuhan
tertutup) atau dengan cara apa pun juga, maka menurit Paus, tiap-tiap
inseminasi buatan dilarang. Beliau bukan
hanya melarang inseminasi dengan mani dari seorang donor, tetapi inseminasi
buatan dengan mani dari suami sendiripun dilarangnya juga. Jadi yang pokok
dalam pandangan itu ialah : mempertahankan hukum kodrati.
Itulah
sebabnya mengapa beberapa moralis R.K. tidak melarang apa yang disebut
,,inseminasi setengah buatan”. Inseminasi setengah buatan” ialah inseminasi
buatan yang dilaksanakan dengan persetubuhan biasa, kemudian segera sesudah
persetubuhan itu, dengan pertolongan seorang dokter, mani didorong masuk dengan
sebuah alat kedalam vagina dan Rahim. Menurut para moralis R.K. itu, inseminasi
setengah buatan tersebut tidak dilarang, tetapi juga tidak diizinkan dalam
dokumen Paus tahun 1949 tadi. Jadi berarti, bahwa pertanyaan Paus Pius tersebut
memberikan kelonggaran kepada inseminasi setengah buatan itu. Maka kebanyakan
moralis R.K.
Menarik
kesimpulan, bahwa inseminasi setengah buatan itu diperbolehkan. Bentuk
inseminasi ini pada prinsipnya berbeda dari inseminasi lainnya, karena pada
inseminasi setengah buatan itu mani diperoleh dari persetubuhan yang normal.
Namun mereka mengakui juga, bahwa terhadap metode ini terdapat beberapa
keberatan medis. Menurut para ahli kedokteran, memang besarlah
keberatan-keberatan itu, karena metode ini hampir tidak ernah berhasil.
Pada
tahun terakhir ini pihak gereja-gereja protestan memikirkan segi-segi keagamaan
dan segi ets dari masalh ini. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pihak
protestan menolak inseminasi buatan yang heterolog, tetapi inseminasi buatan
yang homolog tidak dipandangnya sebagai perbuatan tak bersusila, melainkan
sebagai pertolongan yang boleh dipakai terhadap mereka yang didalam
pernikahannya menanggung derita karena mandul.
Alasan
dan motif-motif manakah yang diajukan pihak protestan dalam tuisan-tulisannya
mengenai masalah itu? Sebagaimana telah kita ketahui dari uraian kami dalam
buku ini, maka Alkitab memandang pernikahan sebagai suatu perjanjian atau
persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita, suatu perjanjian yang
diikat di hadirat Tuhan, untuk seumur hidup. Alah satu ungkapan dari
persekutuan hidup yang total ini ialah persetubuhan, dan dalam persetubuhan itu
sifat dwi-tunggal ikatan suami-istri itu ternyata dengan cara yang amat dalam.
Didalam
Alkitab perkataan Ibrani yang dipakai untuk persetubuhan itu searti dengan kata
“mengenal”, artinya saling mengenal didalam kasih dan saling menyerahkan jiwa
dan rganya didalam kasih. Dari persektuan yang amat dalam ini terbitlah seorang
anak. Dari dwi-tunggali itu terjadi tritunggal yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak. Memang sudah menjadi kehendak Tuhan, bahwa anak harus menjadi anak
seorangg ayah tertentu dan anak seorang ibu tertentu, yang diberi tugas oleh
Tuhan untuk memikul tanggung jawab atas anak itu.
Kelahiran
anak dalam hidup manusia tidak boleh dipandang sebagai pengetrapan teknis
biolobis tertentu, tetapi sebagai pembangkitan dan penciptaan, yang timbul dari
persekutuan hidup yang paling mesra.
Di
situlah letak keberatan keagamaan dan keberatan keagamaan dan keberatan etis
terhadap inseminasi heterolog. Inseminasi heterolog adalah suatu perbuatan yang
memutuskan hubungan antara persekutuan kasih dan pembiakan. Pada inseminasi
heterolog itu pinta suatu hak dari seorang donor dan diberikan suatu hak kepada
seorang donor, yakni hak yang tak boleh diberikan dan tak boleh
dipindah-tangankan sama sekali, karena hak itu di dalam persekutuan pernikahan
hanya menjadi milik suami yang sah semata-mata. Inseminasi heterolog itu
merosot derajat donor menjadi produsen mani dan dengan demikian ia merendahkan
keadaannya sebagai manusia. Inseminasi heterolog merusak hakekat pernikahan,
merusak persekutuan-nikah (persetubuhan) yang merupakan anugerah ilahi dan
merusak tuntutan Tuhan terhadap persetubuhan itu.
Memang,
pernikahan yang tidak dianugerahi anak adalah suatu derita yang amat berat.
Janganlah orang memandang remeh penderitaan itu. Tetapi jika Tuhan membebankan
derita itu kepada kita, maka kita kita tidak mempunyai untuk menggunakan cara
sembarang cara guna menghilangkan penderitaan itu. Dengan sederhana, namun
mendalam, berkatalah de Quenvain: siapa yang didalam penderitaan kemandulan
menggunakan inseminasi heterolog, maka ia menanggalkan penderitaan itu dari
bahunya dan ia tidak menanggung penderitaan itu.
Inseminasi
heterolog adalah suatu godaan. Bagi suami-istri yang tidak mempunyai anak,
godaan bagi wanita-wanita yang tidak kawin. Setiap orang yang mau hidup menurut
kehendak Tuhan, menerima panggilan untuk menentang godaan itu dengan kekuatan
rahmat Tuhan. Tetapi pergunaan inseminasi homolog tidak boleh dipandang sebagai
godaan atau sebagai perbuatan yang bersusila, karena inseminasi homolog itu memakai
mani dari suami yang sah. Kita sebagai manusia mempunyai hak untuk bertindak di
dalam alam. Hal itu kita lakukan dengan dengan ribuan cara di dalam ilmu
pengetahuan modern dan di dalam teknik. Kita boleh bertindak di dalam alam
dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika seorang dokter menggunakan
inseminasi homolog, maka ia sama sekali tidak merusak hakekat pernikahan.
Bahkan sebaliknya, dengan demikian ia justru mengindahkan dan menghormati
ikatan pernikahan itu.
Jika
mani sang suami karena rintangan-rintangan badani atau rintangan-rintangan
psychis tidak dapat mencapai Rahim sang isteri, maka tidak ada alangan sama
sekali untuk memberi pertolongan teknis dan medis kepada suami-isteri itu,
sehinggamani dapat mencapai Rahim dan dengan demikian diperbesar kemungkinan
penghamilan. Sudah barang tentupertolongan hanya diizinkan dan hanya diberikan,
jika suami-isteri sungguh-sungguh dan dengan jujur meminta pertolongan itu. Dan
jika pertolongan ini pun tidak berhasil, maka hendaklah suami-isteri belajar menerima
dan menanggung deritakemandulan itu di dalam doa kepada tuhan.
F.
Inseminasi buatan dan undang-undang
Jika
inseminasi buatan heterolog dipandang sebagai suatu godaan dan harus di tolak
sebagai suatu perbuatan yang tak bersusila, maka haruslah penggunaan inseminasi
heterolog itu dilarang oleh suatu perundang-undangan pidana.
Dalam
kitab undang-undang hukum pidana dilarang abortus provocatus (pengguguran) yang
sembarangan. Mencabut hidup bakal anak dengan jalan pengguguran, dinyatakan
sebagai suatu larangan, berdasarkan undang-undang hukum pidana. Dalam kitab
undang-undang hukum pidana itu pun perlu sekali dicantumkan pasal-pasal, yang
a.l. menyatakan bahwa dokter yang menggunakan inseminasi heterolog telah
melanggar wewenangnya.
Penggunaan
inseminasi buatan yang heterolog menimbulkan akibat-akibat medis, juridis dan
psychologis-etis, yang tidak dapat diduga oleh dokter yang bersangkutan, dan
dokter tersebut itu bertanggungjawab atas akibat-akibat itu.jika demikian
halnya maka perlu sekali pemerintah melindungi dokter-dokter dengan suatu
perundang-undangan dan perlu sekali pemerintah melarang inseminasi heterolog
itu. Sebab menjaga kehormatan rahasia hidup yang terdalam dan mengambil tindakan
terhadap pelanggaran kehormatan pernikahan bukanlah hanya tugas gereja-gereja
saja, etapi juga tugas pemerintah, pembua undang-undang .
Abad
kita disini seringkali disebut, abad teknik. Jumlah penemuan-penemuan teknis
sangat bertambah banyak dan dipakai diseluruh duni. Juga dilapangan ilmu
pengetahuan medis. Bahaya abad teknik ini ialah bahwa kurang sekali diajukan
pertanyaan : “akan kita pergunakankah teknik tertentu yang kini telah ditemukan
itu? Dan jika dipergunakan, bilakah dan pada keadaan yang bagaimanakah?” sudah
menjadi tugas Etika dana tugas Hukum untuk memikirkan pula kedua pertanyaan itu
bertalian dengan masalah inseminasi buatan : sudah menjadi tugas mereka untuk
membangkitkan keinsafan batin dan mencari jawab yang layak dengan penerangan
Hukum Allah dan Injil Allah.
Tanggapan/kesimpulan
Menurut saya inseminasi adalah suatu godaan bagi mereka yang sudah bersuami-istri yang belum mempunyai seorang anak atau belum di anugerahi buah hati, sehingga memancing mereka dalam pembuatan manusia yang sangat ditantang oleh ajaran Kristen atau pun agama Kristen. Kemungkinan banyak juga mereka yang beragama Kristen lebih memilih jalan pintas ini. Tetapi kalau yang sudah takut akan Tuhan, mereka tetap memilih Tuhan sebagai andalan dalam hidupnya untuk selamanya. Buku ini sangat bagus untuk di pelajari oleh setiap kita yang belum paham apa itu inseminasi. Dapat sedikit dipahami dan dimengerti.