Rabu, 08 Februari 2012

Etika Kristen II

Nama              : Dian PS Silalahi
Semester        : IV- S. PAK
M. Kuliah        : Etika Kristen II
Dosen              : Ribkha P, M. Th


Masalah Inseminasi buatan
Masalah ini belum dibicarakan dalam cetakan pertama, karena kami berpendapat bahwa soal ini pada waktu itu belum aktuil di Indonesia. Tetapi kini keadaan telah berubah. Tak dapat dirugikan lag bahwa soal ini telah menjadi soal yang aktuil. Juga di Indonesia. Banyak orang mempercakapkannya. Majalah-majalah dan hari-harian memuat banyak karangan-karangan tentang hal itu. Banyak orang yang mempunyai anak meminta keterangan, nasehat dan pertolongan kepada dokter mengenai soal itu. Pendapat para pendeta pun diminta. Oleh karena itu maka dalam cetakan ini masalah itu akan kita bicarakan.
a.     Apakah inseminasi buatan itu?
Dalam keadaan normal, penghamilan wanita dalan kehidupan pernikahan terlaksana dengan persetubuhan. Yang disebut inseminasi buatan ialah memasukan mani kedalam alat-alat kelamin wanita dengan jalan buatan (bukan dengan persetubuhan ). Untuk itu dapat dipakai beberapa metode.
Bukanlah maksud kami uutk membicarakan segi teknis dan segi medis dari tindakan itu. Yang akan kita bicarakan ialah segi keagamaan dan segi etisnya. Tetapi sebelum itu, baiklah kami terangkan lebih dahulu bahwa ada dua macam inseminasi buatan yakni inseminasi buatan yang homolog dan inseminasi buatan yang heterolog.
b.     Inseminasi buatan yang homolog
Inseminasi buatan disebut homolog, jika mani yang dimasukkan kedalam alat kelamin wanita itu berasal dari suaminya sendiri. Adakalanya penghamilan wanita tidak dapat dilaksakan dengan persetubuhan. Misaslnya jika sisuami mati pucuk (lemah syahwat/impoten). Juga jika terdapat kelamin-kelamin bawaan (sejak dilahirkan) pada alat kelamin suami atau istri, sehingga mani yang sehat tidak masuk sampai yang semestinya. Dalam keadaan yang demikian itu dokter dapat menggunakan inseminasi buatan dengan memasukkan mani suami kedalam rahim istrinya dengan metodemetode tertentu (mis: dengan memompakannya). Menurut para ahli kedokteran, hasil inseminasi yang homolog itu tidak besar, walaupun pernah pula terjadi bahwa inseminasi semacam ini dapat menghamilkan wanita; sehingga ia dapat melahirkan anak, bukan hanya sekali saja tetapi sampai beberapa kali.
c.      Inseminasi buatan yang heterolog
Inseminasi buatan disebut heterolog, jika mani yang dimasukkan itu berasal dari seorang donor lain, bukan dari suaminya sendiri. Dinegeri-negeri tertentu dicari dan dipilih donor-donor dengan sangat dirahasiakan. Donor itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dokter yang mencari donir itu harus memilih seorang donor yang lebih kurang sama sifat hayatinya dan bentuk tubuhnya dengan suami yang sebenarnya. Dengan amat teliti diadakan penyelidikan tentang keturunan pada donor itu dan ditinjau kombinasi itu dari sudut asal-usul kedua belah pihak di negeri-negeri yang mengijinkan penggunaan inseminasi heterolog itu, haruslah dokter mengawasi dengan keras (sesuai dengan undang-undang yang berlaku tentang hal itu dinegeri itu). supaya sampai sidonor mengetahui kepada siapa maninya itu diberikan dan supaya jangan sampai wanita itu mengetahui dari siapa ia menerima mani itu. Jadi dokter harus memegang teguh rahasia itu. Itulah syarat yang mutlak. Di beberapa negeri dipakai inseminasi heterolog itu, jika dalam perkawinan suami-istri tertentu tetap tidak ada anak yang diahirkan taau jika golongan darah suami-istri tidak cocok.        
d.     Berbagai segi masalah inseminasi buatan
Masalah ini banyak segi-seginya. Segi hayati (biologis), psychologis, juridis, segi-segi keagamaan dan etis. Bahaya yang terdapat pada zaman sekarang mengenai masalah ini ialah apabila masalah ini hanya diselidiki dari sudut hayatinya saja. Di Amerika dan Rusia banyak orang yang berat sebelah pandangannya terhadap hidup, yakni hanya menitikberatkan segi biologis atau segi hayati, sehingga banyak pula yang menganjurkan inseminasi buatan yang heterolog, bukan hanya untuk menolong suami-istri yang tidak mempunyai anak, tetapi juga untuk memertinggi bakat-bakat keturunan. Untuk itu, maka dianjurkan supaya orang memakai mani dari orang-orang istimewa bakatnya guna menghamilkan wanita-wanita. Bahkan orang telah memikirkan pula untuk mendirikan suatu “bank mani” untuk menyimpan mani dari tokoh-tokoh yang istimewa bakatnya guna kepentingan angkatan yang akan datang.
Huxley menerangkan, bahwa dikemudian hari lapangan eugenetik (ilmu pengetahuan yang menyelidi pengaruh-pengaruh yang dapat memperbaiki sifat-sifat keturunan manusia) akan mengalami zaman baru yang baik. Baru-baru ini seorang rector wanita yang behaluan komunis dari suatu sekolah menengah di Eropah Timur menerangkan, bahwa kini Sovye Uni telah mempunyai pengalaman selama 25 tahun dalam memupuk dan ,,mngembang-biakkan” manusia dengan inseminasi buatan. Menurut wanita ini, ,,pembiakan” umat manusia harus ditinjau dan diselidiki lagi secara radikal. Mulai sekarang haruslah manusia dikembangkan-biakkan” dengan ,,ampuh-ampuh. Fungsi ayah harus diganti dengan ,,ampuh-ampuh. Bahkan ia berani mengatakan, bahwa dikemudian hari pembiakan dengan cara yang wajar” (persetubuhan) harus dipandang sebagai perbuatan membuang-buang barang bekas yang tidak dapat mempertanggung jawabkan.
Tak perlu diterangkan lagi rasanya, bahwa ucapan-ucapan semacam itu adalah berdasarkan suatu pandangan Alkitab terhadap manusia, yang sama sekali berentangan dengan pandangan Alkitab terhadap manusia. Dalam pandangan tersebut manusia dipandang sebagai binatang yang cerdas dan pembiakan manusia dipandang sebagai suatu soal yang dapat diatur dengan cara yang sama speerti orang mengatur pembiakan ayam atau kuda atau babi.
Apabila kita membaca tentang pendangan orang2 yang memandang soal ini dari sudut psychologis, maka kita akan mengetahui, bahwa pada soal inseminasi buatan itu timbul pertanyaan yang lebih dalam dari pada yang mengenai segi-segi hayati saja! Ahli psychology menerangkan, bahwa pada seorang wanita, yang melahirkan anak dari mani seorang donor yang tidak diketahuinya, seringkali timbul ikatan batin yang disadari atau tidak disadarinya dengan donor yang anonim itu. Mereka pun menerangkan, bahwa ikatan batin itu ada yang mengakibatkan gangguan syaraf. Kecuali itu kini telah diketahui pula dari buku ilmu jiwa mengenai masalah itu, bahwa anak-anak yamg dilahirkan dengan metode inseminasi heterolog itu kadang-kadang sangat menderita tekanan batin, karena mereka tidak mengetahui, siapakah ayahnya, rahasia itu tidak selamanya dapat disimpan baik-baik. Orang tuanya mungkin dapat menyimpan rahasia itu, tetapi orang lain dapat membukanya.
Salah satu hak manusia yang asasiialah hak mengetahui siapakah ayah dan ibunya yang melahirkan dia. Jika orang dengan sengaja menyembnyikan rahasia itu bagi sianak, maka hal iktu akan lebih berpengaruh jahat pada jiwa sianak dari pada yang disangka orang semula.
Ahli-ahli hukum menunjukkan segi juridis daripada soal ini. Sebab adanya anak yang dilahirkan dengan metode inseminasi heterolog itu menimbulkan soal juridis yang tidak atau belum dapat dipecahkan oleh undang-undang yang ada dewasa ini. Misaknya, dapatkah dikatakan sah anak yang dilahirkan dari inseminasi heterolog itu? Apakah wanita itu tidak berbuat zinah? Jika memang dianggap berbuat zinah, apakah dokter dan donor bukan merupakan pembantu dalam tindak pidana? Jika inseminasi dilakukan tanpa persetujuan suami, dapatkah hal itu menjadi alasan untuk perceraian? Dapatkah donor diwajibkan memberi nafkah kepada anak yang dilahirkan dengan cara demikian itu? Ataukah dokter yang melaksanakan penghamilan dengan cara itu yang harus diwajibkan memberi nafkah kepda sianak? Bagaimana urusan hak waris bagi anak-anak semacam itu? Memberi keterangan tentang asal-usul anak itu kepada anak itu sendiri, dapatkah hal itu diizinkan berdasarkan hukum?
Itulah beberapa soal juridis yang bukan hanya secara teori, tetapi di dalam praktek pun telah lama menjadi bahan penyelidikan di berbagai negeri dan telah menimbulkan proses-proses pengadilan serta jurisprudensi tertentu. Tetapi soal inseminasi buatan itu tidak hanya mempunyai segi-segi keagamaan dn segi-segi juridis saja. Ada pula segi-segi keagamaan dan segi-segi etisnya. Segi yang terakhir itulah yang akan kita bicarakan dalam buku ini.
e.     Segi keagamaan dan segi etis dari masalah inseminasi buatan
Setiap orang dilingkungan gereja manapun dia, yang merenungkan soal-soal diatas itu, menerima panggilan untuk memikirkan segi-segi keagamaan dan segi-segi etis dari soal inseminasi buatan itu. Gereja yang pertama-tama secara resmi mengeluaran suatu pertanyaan tentang inseminasi buatan itu ialah Gereja R.K.
Dokumen yang memuat pertanyaan itu dikeluarkan oleh Paus XII pada tahun 1949. Didalam dokumen yang terkenal itu ditolak inseminasi buatan, baik yang homolog maupun yang heterolog. Paus Pius XII menerangkan bahwa tiap-yia penghamilan dan pembiakan manusia tidak boleh menyimpang dari cara yang wajar yang telah diciptakan oleh Tuhan sendiri pada tiap-tiap manusia. Cara yang waajar itu ialah persetubuhan. Segala yang tidk sesuai dengan cara yang wajar itu adalah jahat. Demikian isi dokumen itu. Oleh karena tu disebutkan pula dalam dokumen Paus situ, bahwa yang perlu bukan hanya berskap hati-hati terhadap inseminasi buatan haruslah dianggap sebagai sesuatu yang dilarang, berdasarkan kesusilaan.
Dasar pertanyaan itu terleta pada pandangan gereja R.K. tentang hukum kodrati, lex naturalis”. Oleh karena pada inseminnasi buatan itu mani tidak diperoleh dari persetubuhan yang wajar, melainkan dengan pungsi (tusukan) pada buah pelir atau dengan masturbasi (merancap) atau dengan coitus sinterruptus (persetubuhan tertutup) atau dengan cara apa pun juga, maka menurit Paus, tiap-tiap inseminasi  buatan dilarang. Beliau bukan hanya melarang inseminasi dengan mani dari seorang donor, tetapi inseminasi buatan dengan mani dari suami sendiripun dilarangnya juga. Jadi yang pokok dalam pandangan itu ialah : mempertahankan hukum kodrati.
Itulah sebabnya mengapa beberapa moralis R.K. tidak melarang apa yang disebut ,,inseminasi setengah buatan”. Inseminasi setengah buatan” ialah inseminasi buatan yang dilaksanakan dengan persetubuhan biasa, kemudian segera sesudah persetubuhan itu, dengan pertolongan seorang dokter, mani didorong masuk dengan sebuah alat kedalam vagina dan Rahim. Menurut para moralis R.K. itu, inseminasi setengah buatan tersebut tidak dilarang, tetapi juga tidak diizinkan dalam dokumen Paus tahun 1949 tadi. Jadi berarti, bahwa pertanyaan Paus Pius tersebut memberikan kelonggaran kepada inseminasi setengah buatan itu. Maka kebanyakan moralis R.K.
Menarik kesimpulan, bahwa inseminasi setengah buatan itu diperbolehkan. Bentuk inseminasi ini pada prinsipnya berbeda dari inseminasi lainnya, karena pada inseminasi setengah buatan itu mani diperoleh dari persetubuhan yang normal. Namun mereka mengakui juga, bahwa terhadap metode ini terdapat beberapa keberatan medis. Menurut para ahli kedokteran, memang besarlah keberatan-keberatan itu, karena metode ini hampir tidak ernah berhasil.
Pada tahun terakhir ini pihak gereja-gereja protestan memikirkan segi-segi keagamaan dan segi ets dari masalh ini. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pihak protestan menolak inseminasi buatan yang heterolog, tetapi inseminasi buatan yang homolog tidak dipandangnya sebagai perbuatan tak bersusila, melainkan sebagai pertolongan yang boleh dipakai terhadap mereka yang didalam pernikahannya menanggung derita karena mandul.
Alasan dan motif-motif manakah yang diajukan pihak protestan dalam tuisan-tulisannya mengenai masalah itu? Sebagaimana telah kita ketahui dari uraian kami dalam buku ini, maka Alkitab memandang pernikahan sebagai suatu perjanjian atau persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita, suatu perjanjian yang diikat di hadirat Tuhan, untuk seumur hidup. Alah satu ungkapan dari persekutuan hidup yang total ini ialah persetubuhan, dan dalam persetubuhan itu sifat dwi-tunggal ikatan suami-istri itu ternyata dengan cara yang amat dalam.
Didalam Alkitab perkataan Ibrani yang dipakai untuk persetubuhan itu searti dengan kata “mengenal”, artinya saling mengenal didalam kasih dan saling menyerahkan jiwa dan rganya didalam kasih. Dari persektuan yang amat dalam ini terbitlah seorang anak. Dari dwi-tunggali itu terjadi tritunggal yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Memang sudah menjadi kehendak Tuhan, bahwa anak harus menjadi anak seorangg ayah tertentu dan anak seorang ibu tertentu, yang diberi tugas oleh Tuhan untuk memikul tanggung jawab atas anak itu.
Kelahiran anak dalam hidup manusia tidak boleh dipandang sebagai pengetrapan teknis biolobis tertentu, tetapi sebagai pembangkitan dan penciptaan, yang timbul dari persekutuan hidup yang paling mesra.
Di situlah letak keberatan keagamaan dan keberatan keagamaan dan keberatan etis terhadap inseminasi heterolog. Inseminasi heterolog adalah suatu perbuatan yang memutuskan hubungan antara persekutuan kasih dan pembiakan. Pada inseminasi heterolog itu pinta suatu hak dari seorang donor dan diberikan suatu hak kepada seorang donor, yakni hak yang tak boleh diberikan dan tak boleh dipindah-tangankan sama sekali, karena hak itu di dalam persekutuan pernikahan hanya menjadi milik suami yang sah semata-mata. Inseminasi heterolog itu merosot derajat donor menjadi produsen mani dan dengan demikian ia merendahkan keadaannya sebagai manusia. Inseminasi heterolog merusak hakekat pernikahan, merusak persekutuan-nikah (persetubuhan) yang merupakan anugerah ilahi dan merusak tuntutan Tuhan terhadap persetubuhan itu.
Memang, pernikahan yang tidak dianugerahi anak adalah suatu derita yang amat berat. Janganlah orang memandang remeh penderitaan itu. Tetapi jika Tuhan membebankan derita itu kepada kita, maka kita kita tidak mempunyai untuk menggunakan cara sembarang cara guna menghilangkan penderitaan itu. Dengan sederhana, namun mendalam, berkatalah de Quenvain: siapa yang didalam penderitaan kemandulan menggunakan inseminasi heterolog, maka ia menanggalkan penderitaan itu dari bahunya dan ia tidak menanggung penderitaan itu.
Inseminasi heterolog adalah suatu godaan. Bagi suami-istri yang tidak mempunyai anak, godaan bagi wanita-wanita yang tidak kawin. Setiap orang yang mau hidup menurut kehendak Tuhan, menerima panggilan untuk menentang godaan itu dengan kekuatan rahmat Tuhan. Tetapi pergunaan inseminasi homolog tidak boleh dipandang sebagai godaan atau sebagai perbuatan yang bersusila, karena inseminasi homolog itu memakai mani dari suami yang sah. Kita sebagai manusia mempunyai hak untuk bertindak di dalam alam. Hal itu kita lakukan dengan dengan ribuan cara di dalam ilmu pengetahuan modern dan di dalam teknik. Kita boleh bertindak di dalam alam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika seorang dokter menggunakan inseminasi homolog, maka ia sama sekali tidak merusak hakekat pernikahan. Bahkan sebaliknya, dengan demikian ia justru mengindahkan dan menghormati ikatan pernikahan itu.
Jika mani sang suami karena rintangan-rintangan badani atau rintangan-rintangan psychis tidak dapat mencapai Rahim sang isteri, maka tidak ada alangan sama sekali untuk memberi pertolongan teknis dan medis kepada suami-isteri itu, sehinggamani dapat mencapai Rahim dan dengan demikian diperbesar kemungkinan penghamilan. Sudah barang tentupertolongan hanya diizinkan dan hanya diberikan, jika suami-isteri sungguh-sungguh dan dengan jujur meminta pertolongan itu. Dan jika pertolongan ini pun tidak berhasil, maka hendaklah suami-isteri belajar menerima dan menanggung deritakemandulan itu di dalam doa kepada tuhan.
F. Inseminasi buatan dan undang-undang
Jika inseminasi buatan heterolog dipandang sebagai suatu godaan dan harus di tolak sebagai suatu perbuatan yang tak bersusila, maka haruslah penggunaan inseminasi heterolog itu dilarang oleh suatu perundang-undangan pidana.
Dalam kitab undang-undang hukum pidana dilarang abortus provocatus (pengguguran) yang sembarangan. Mencabut hidup bakal anak dengan jalan pengguguran, dinyatakan sebagai suatu larangan, berdasarkan undang-undang hukum pidana. Dalam kitab undang-undang hukum pidana itu pun perlu sekali dicantumkan pasal-pasal, yang a.l. menyatakan bahwa dokter yang menggunakan inseminasi heterolog telah melanggar wewenangnya.
Penggunaan inseminasi buatan yang heterolog menimbulkan akibat-akibat medis, juridis dan psychologis-etis, yang tidak dapat diduga oleh dokter yang bersangkutan, dan dokter tersebut itu bertanggungjawab atas akibat-akibat itu.jika demikian halnya maka perlu sekali pemerintah melindungi dokter-dokter dengan suatu perundang-undangan dan perlu sekali pemerintah melarang inseminasi heterolog itu. Sebab menjaga kehormatan rahasia hidup yang terdalam dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran kehormatan pernikahan bukanlah hanya tugas gereja-gereja saja, etapi juga tugas pemerintah, pembua undang-undang .
Abad kita disini seringkali disebut, abad teknik. Jumlah penemuan-penemuan teknis sangat bertambah banyak dan dipakai diseluruh duni. Juga dilapangan ilmu pengetahuan medis. Bahaya abad teknik ini ialah bahwa kurang sekali diajukan pertanyaan : “akan kita pergunakankah teknik tertentu yang kini telah ditemukan itu? Dan jika dipergunakan, bilakah dan pada keadaan yang bagaimanakah?” sudah menjadi tugas Etika dana tugas Hukum untuk memikirkan pula kedua pertanyaan itu bertalian dengan masalah inseminasi buatan : sudah menjadi tugas mereka untuk membangkitkan keinsafan batin dan mencari jawab yang layak dengan penerangan Hukum Allah dan Injil Allah.          
Tanggapan/kesimpulan
              Menurut saya inseminasi adalah suatu godaan bagi mereka yang sudah bersuami-istri yang belum mempunyai seorang anak atau belum di anugerahi buah hati, sehingga memancing mereka dalam pembuatan manusia yang sangat ditantang oleh ajaran Kristen atau pun agama Kristen. Kemungkinan banyak juga mereka yang beragama Kristen lebih memilih jalan pintas ini. Tetapi kalau yang sudah takut akan Tuhan, mereka tetap memilih Tuhan sebagai andalan dalam hidupnya untuk selamanya. Buku ini sangat bagus untuk di pelajari oleh setiap kita yang belum paham apa itu inseminasi. Dapat sedikit dipahami dan dimengerti.